I S L A M dan I L M U N Y A
Shifat tercela
pada diri manusia.
Adapun shifat
tercela yang biasa terdapat pada manusia itu jika dilihat banyak sekali
tertampak dan tidak mampu untuk dipungkiri seperti, sombong, ujub, riya, budi
yang buruk, gila jabatan (kedudukan) dan merasa derajat tinggi, meneliti cela
orang lain dan berperasangka buruk, dan masih banyak lagi.
“Tasyawwu fuqa
ilaa maa bathana fiyka minal-‘uyuwbi khaiyrun min tasyawwu fiqa ilaa maa hhujiba
‘anka minal-ghuyuwbi”.
“Usahamu untu mengetahui apa yang tersimpan di dalam
dirimu dari berbagai macam cela itu adalah baik, dari pada usahamu kepada apa
yang terhalang dari kamu dari bebagai perkara yang ghaib”.
Di dalam Al Qur’an manusia yang beriman dilarang
meneliti (cela) orang lain separti halnya di dalam Al Qur’an :
“Yaa
ayyuhal-ladziyna amanuj-tanibuw kasyiranm minazh-zhanni inna ba’dhadzanni
itsmun walaa tajas-sasu walaa yaghtabab-ba’dhukum ba’dhan ayuhhibbu ahhadukum
an yak kula lahhma akhihi miytan fakarih-tumuwhu wat taqullaha in nallaha
tawwabunr-rahhimun”.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik
terhadapnya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubaht lagi Maha Penyayang”.{QS. Hujuraat.
12}
Dalam sebuatahui, haditspun menerangkan :
“Dari Abu Hurairah r.a. Bahwasanya Rasulullah s.a.w
bersabda: Tahukah kalian, apakah ghibah itu ? Para shahabat berkata Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui, beliau berkata: Ghibah itu ialah
menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara ia tidak tahu. Seorang berkata :
Bagaimana kalau pada saudaraku itu apa yang aku katakan ? Beliau menjawab:
Kalau padanya ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah
mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti yang engkau katakan, sungguh
engkau telah berdusta”.{HR. Imam
Muslim}.
Dan pada sebuah hadits yang lain :
“ ‘An Anasin
radhiallahi ‘anhu qaala rasulullhi shalallahu alaiyhi wa sallamu. Thubaa liman
syaghalahu ‘ayyubuhu ‘an-‘uyubinnasi”.
“Dari Anas r.a. berkata : Telah bersabda Rasulullah
s.a.w. berbahagialah orang yang selalu di ingatkan oleh ‘aibnya sendiri dari
pada ‘aibnya orang lain”. (HR. Al Bazzar).
Maka dari itu
untuk membersihkan jiwa selalu mengoreksi cela yang ada di dalam diri. Yang
seharusnya cela-cela itu terbuang jauh-jauh dari diri manusia yang ingin
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan cela yang terdapat pada manusia
bermula dari hawa nafsu. Dan ketahuilah pula bahwa hawa nafsu bermula dari (4)
perkara :
·
Pertama : Melanggar perintah Allah Ta’ala.
·
Kedua : Menjalankan amal baik yang disertai dengan riya’.
· Ketiga : Bersantai-santai sehingga tidak memperhatikan betapa pentingnya wakt.
· Keempat : Bermalas-malas
dalam melakanakan kewajiban-kewajian perintah Allah Ta’ala.
Untuk
menghilangkan ke empat perkara itu hendaklah jiwanya diisi dengan ketha’atan
tekun dalam menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah
Rasul s.a.w. dan mengenai perkara-perkara akan suatu kelebihan di dalam
beribadaht di antaranya mengenai taqdir, mengenai karamaht dan lainnya. Hal ini
jangan dikejar untuk ingin mengetahuinya sebelum menghilangkan aib (cela) yang
terdapat pada diri sendiri. Dan janganlah bermaksud bahwa dengan amal-amaknya
itu ia ingin mengetahui perkara ghaib. Sehingga hatinya di dalam ibadaht
disibukkan oleh perkara-perkara tersebut.
Jadilah kamu yang
selalu mencari istiqamah (kelurusan) dan janganlah menjadi orang yang mencari
karamaht (kekeramatan) maka sesungguhnya jiwamu menjadi bergolak sedangkan kamu
mencari karamaht, akan tetapi Allah Ta’ala mencarimu dengan kebenaran
(kelurusan). Dan karena memang Haq Allah Ta’ala itu lebih utama bagimu daripada
kamu mengutamakan bagian jiwamu.
Sehubungan dengan hal ini telah diceritakan didalam
Hikayat Israilyyat yang bersumber dari Wahab bin Munabbih r.a. :
“Sesunggunya
(duhulu) ada seorang laki-laki dari bani Israil menjalani puasa selama 70
tahun. Setiap tahun ia berbuka 7 hari. Kemudian ia memohon kepada Allah Ta’ala
agar supaya diperlihatkan padanya bagaimana kekuatan syaithan di dalam
mengalahkan manusia. Walaupun permintaannya itu sudah lama sekali diajukan,
akan tetapi Allah Ta’ala belum mengabulkannya. Ia berkata dalam hatinya :
Seandainya aku tahu atas kesalahanku dan dosa-dosaku yang terjadi antara aku
dengan Tuhanku pastilah itu lebih baik bagiku dari perkara yang aku minta ini.
Pada waktu itu juga Allah Ta’ala mengutus malaikat untuk menemuinya. Kemudian malaikat
itu berkata : Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutusku untuk menemuimu. Dia
(Allah) berkata kepadamu : Sesungguhnya perkataanmu yang telah lalu itu lebih
disenangi Allah Ta’ala dari pada ibadahmu selama itu. Sesudah diberitahu oleh
malaikat yang demikian itu, maka Allah Ta’ala membuka penglihatannya sehingga
ia dapat melihat bala tentara iblis seketika itu yang telah mengepung bumi,
sehingga tidak seorangpun manusia yang tak terkepung olehnya bagaikan
pengepungan lalat.”