Kamis, 11 Juli 2013

Amal perbuatan mengikuti keadaan hati.


    
   I S L A M  dan  I L M U N Y A

Amal perbuatan selalu mengikuti keadaan hatinya.
“Hhusnul a’maali nata-iju hhusnil-ahhwali wa hhusnil-ahhwali minat-tah-haq-quqi fii maqaa maatil inzali”.
“Baiknya suatu amal itu adalah merupakan hasil dari baiknya keadaan hati, sedang baiknya keadaan hati itu adalah merupakan sebagian tanda ketetapan di dalam kedudukan (orang yang diberi cahaua ke Tuhanan) yang turun kedalam hati”
Amal perbuatan yang sudah  nampak (jelas) itu selalu mengikuti gerak-gerik atau pola dari dalam hati orang itu. Keadaan hatinya baik tentu memancarkan amal yang baik pula, sebaliknya jika keadaan hatinya jelek maka akan memancarkan amalan yang jelak juga.
Jadi ringkasnya, bila keadaan hatinya baik, bersih tentu memancarkan amal yang baik pula. Dan jika keadaan hatinya buruk dan penuh dengan sifat riya’, ujub, sombong, tentu akan menghasilkan amalan yang buruk pula.
Tentang keadaan hati yang baik (niat yang baik) yang sudah dikerjakan atau juga belum dikerjakan dan keadaan hati (niat) yang buruk yang sudah dilakukan atau belum dilakukan, hal itu ada mudharat dan menfa’at sendiri-sendiri.
Sebagaimana Nabi Muhammad s.a.w. bersabda :
“ ‘Anibni ‘Abbasin radhiallahu ‘anhuma ‘an rasulillahi shal’am : Fiimaa yarwaihi tabaraka wa ta’ala qaala : Innallaha katabal hhasanati was-say-yi-ati tsumma bay-yina zaalika faman hamma bi-hhasanatin walam ya’malhaa katabahallahu ‘indahu hhasanatan kamilatan wa inhamma biha fa’amaliha katabahallahu ‘indahu ‘asyra hhasantin ilaa sab’i mi-ati dhigh-fin ilaa adh’afi kasyiyratin wain hamma bissayyi-ati falam ba’malhaa katabahallahu ‘indahu hhasanatan kamilatan wain hamma bihaa fa’amilaha katabahallahu sayyi-atan wahhidatan”.
“DarI Ibnu Abbas r.a. dari Rasulullah s.a.w. yang meriwayatkan suatu sabda dari Tuhannya Tabaaraka wata’ala : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikkan-kebaikkan dan kejahatan-kejahatan, kemudian menerangkannya, maka barang siapa bermaksud mengerjakan kebaikkan kemudian tidak dikerjakan, Allah mencatatkannya sebagai suatu kebaikkan yang sempurna. Dan jika ia bermaksud (berniat) berbuat kebaikkan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya nilai kebaikkan itu berganda 10 kali lipat sampai 700 lipat sampai berganda yang sangat banyak. Dan jika ia bermaksud melakukan kejahatan tetapi ia tidak mengerjakannya. Allah mencatatkan padanya suatu kebaikkan yang sempurna. Dan jika ia bermaksud membuat kejahatan, lalu mengerjakanya, Allah mencatatkan padanya satu kejahatan”. (HR. Bukhary Muslim).
Amalnya orang zuhud dan yang cinta dunia.
Orang zuhud ialah orang yang sudah tidak perduli akan urusan dunia (sudah cukup). Amalnya orang tersebut sangat harum dan terpuji disisi Allah Ta’ala. Walaupun amal itu secara lahiriyah sangat kecil, tetapi sangat besar nilanya disisi Allah Ta’ala. Sebab amal yang dikerjakannya itu timbul dari hati yang bersih, tidak dikarenakan paksaan dari orang lain, jauh dari shifat riya’, ujub dan menyombonkan, terlepas dari ke duniawian serta tidak berpalaing dari Allah tatkala ia melaksanakan segala amal.
Berbeda dengan amal yang dikerjakan oleh orang yang sangat cinta pada ke duniawian. Secara lahiriyah amal tersebut kelihatan sangat besar menurut penilaian manusia. Tapi sangat kecil nilainya disisi Allah Ta’ala. Sebab amal perbuatan mereka itu bermula dari hati yang kotor, yang masih dibelenggu oleh kehendak hawa nafsu, mitsalnya : ujub, sombong, serta hatinya sangat condong kepada masalah duniawi (berpaling dari Allah).
Sombong dan congkak adalah penyakit yang sangat berbahaya atau merusak amal perbuatan baik. Bukankah orang yang selalu menolak kebenaran merasa dirinya yang sangat berguna (dibutuhkan) dan selalu meremehkan orang lain. Maka orang yang dimikian itu tempat kembalinya adalah neuraka jahanam.
Sebagaimana Nabi Muhammad s.a.w. bersabda :
“Laa yadkhulul jannata mankana fii qalbihi mitsqaalu dzarratin min kibrin qaala rajulun innarrajula yuhibbu an yakuna tsaubuhu hhasanaa wana’luhu hhasanan. Qaala innallaha jamiylun yuhibbul jamala. Alkib-ru bathrul haqqi wagham-thun-naasi”.
“Tidak akan masuk syurga orang yang ada terdapat dalam hatinya sedikit sifat takabbur. Orang bertanya: Bagaimana seandainya seorang ingin memakai baju yang indah dan sepatu yang bagus ? Nabi s.a.w. menjawab : Sesungguhnya Allah itu indah dan suka kepada keindahan. (sifat) takabbur itu ialah menolak kebenaran dan menganiaya orang lain (merendahkannya)”. 

Rabu, 10 Juli 2013

Hanya Allah Ta'ala yang dapat menyingkirkan bencana.


                            Islam Ilmu Dunia Dan Akhirat.

Hanya Allah Ta’ala yang dapat menyingkirkan bencana.
Setiap insan manusia, baik itu yang beriman maupun orang yang tidak beriman (kafir), jelas dan nyata akan menerima ketentuan dan kejadian. Mitsalnya : sakit, sehat, miskin, kaya, rendahnya pangkat, tingginya pangkat dan sebagainya, itu semua adalah datangnya dari Allah Ta’ala. Maka dari itu jika ada seorang manusia yang berada dalam kejadian atau mengalami kejadian suatu musibah (taqdir buruk), lantas berkeinginan menyingkirkan atau terlepas dari kejadian tersebut kepada selain kepada Allah Ta’ala, mana mungkin (mustahil), selain Allah Ta’ala yang dapat menyingkirkan (menghilangkan) sesuata hajat, dikarenakan Dialah Allah yang menempatkan atau mendatangkan hajat tersebut.
Bagi orang mukmin yang diberi kejadian dan ketentuan oleh Allah Ta’ala ia akan memohon kepaa Allah Dzat yang merajai dan menguasai jagad raya ini, serta yang mendatangkan musibah dan bencana dan juga yang mencabutnya.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an :
“Walatad-‘u minduwnillahi maala yanfa’uka wala yadhurruka fain fa’alta fainnaka izanm-minazh-zhalimiyna”.
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu jika begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (QS. Yunus. 106)
“Wa inyyyam-saskallahu budhurrin falaka syifa lahu illa huwa wa inyyuridka bikhairin fala radda lifadhlihi, yushiybu bihi manyyasyaa-u min ‘ibadihi huwal-ghafururrahiymu”.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia (Allah). Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia (Allah) memberkan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.  (QS, Yunus. 107)
Oleh sebab itu apabila manusia mengalami musibah, kembalikan dan hadapkan kejadian dan ketentuan itu kepada Allah Ta’ala. Sebab Dia-lah yang menentukan segala kejadian tersebut. Siapapun orangnya (manusia) takkan mampu untuk menyingkirkan bencana dirinya atau menyingkirkan bencana orang lain. Dia Allah yang memberi kerajaan (pangkat, kekuasaan) kepada sesorang, juga Allah Ta’ala yang mencabutnya, Allah Ta’ala yang memberi kemuliaan dan juga yang menghinakan kepada sesorang.
Sebagaimana Allah Ta’ala mengataka di dalam Al-Qur’an :
“Qulillahumma maalikal mulki tuktil mulka mantasyaa-u watanzi’ul mulka miman tasyaa-u watu’izzu mantasyaa-u watuzillu mantasyaa-u biyadikal khairu. Innaka ‘alaa kulli syai-in qadiyru”.
“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan. Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.  (QS. Ali Imran. 26).
Dalam suatu riwayat dikatakan seringkali Nabi Muhammad s.a.w. mengucapkan do’a seusai melaksanakan shalat :
“Allahumma laa maani’a limaa-a’thaita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa radda limaa qadhaiyta walaa yanfa’a zaljaddi minkal-jaddu”.
“Yaa Allah tidak ada yang mencegah jika Engkau memberi, dan tidak ada yang dapat menolak apa yang telah Engkau taqdirkan, dan tidak bermanfaat orang yang mempunyai kemuliaan pada Engkau oleh kemuliaannya”.
Kalimat do’a tersebut mengandung arti bahwa segala sesuatu itu berjalan menurut apa yang telah ditentukan Allah Ta’ala pada hakikatnya, tidak ada yang dapat mencegah, menahan dan menambah dari pada apa yang telah digariskan Allah Ta’ala dalam kehidupan ini. Hal ini adalah untuk lebih memantapkan di dalam hati bahwa Allah Ta’ala adalah pengatur yang berhak atas setiap makhluknya.

Selasa, 08 Mei 2012

Shifat tercala pada manusia.

                                                                                         
                                                                             
                                                           I S L A M  dan  I L M U N Y A  


Shifat tercela pada diri manusia.
Adapun shifat tercela yang biasa terdapat pada manusia itu jika dilihat banyak sekali tertampak dan tidak mampu untuk dipungkiri seperti, sombong, ujub, riya, budi yang buruk, gila jabatan (kedudukan) dan merasa derajat tinggi, meneliti cela orang lain dan berperasangka buruk, dan masih banyak lagi.
“Tasyawwu fuqa ilaa maa bathana fiyka minal-‘uyuwbi khaiyrun min tasyawwu fiqa ilaa maa hhujiba ‘anka minal-ghuyuwbi”.
“Usahamu untu mengetahui apa yang tersimpan di dalam dirimu dari berbagai macam cela itu adalah baik, dari pada usahamu kepada apa yang terhalang dari kamu dari bebagai perkara yang ghaib”.
Di dalam Al Qur’an manusia yang beriman dilarang meneliti (cela) orang lain separti halnya di dalam Al Qur’an :
“Yaa ayyuhal-ladziyna amanuj-tanibuw kasyiranm minazh-zhanni inna ba’dhadzanni itsmun walaa tajas-sasu walaa yaghtabab-ba’dhukum ba’dhan ayuhhibbu ahhadukum an yak kula lahhma akhihi miytan fakarih-tumuwhu wat taqullaha in nallaha tawwabunr-rahhimun”.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik terhadapnya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubaht lagi Maha Penyayang”.{QS. Hujuraat. 12}
Dalam sebuatahui, haditspun menerangkan :
“Dari Abu Hurairah r.a. Bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda: Tahukah kalian, apakah ghibah itu ? Para shahabat berkata Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui, beliau berkata: Ghibah itu ialah menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara ia tidak tahu. Seorang berkata : Bagaimana kalau pada saudaraku itu apa yang aku katakan ? Beliau menjawab: Kalau padanya ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau telah berdusta”.{HR. Imam Muslim}.
Dan pada sebuah hadits yang lain :
“ ‘An Anasin radhiallahi ‘anhu qaala rasulullhi shalallahu alaiyhi wa sallamu. Thubaa liman syaghalahu ‘ayyubuhu ‘an-‘uyubinnasi”.
“Dari Anas r.a. berkata : Telah bersabda Rasulullah s.a.w. berbahagialah orang yang selalu di ingatkan oleh ‘aibnya sendiri dari pada ‘aibnya orang lain”. (HR. Al Bazzar).
Maka dari itu untuk membersihkan jiwa selalu mengoreksi cela yang ada di dalam diri. Yang seharusnya cela-cela itu terbuang jauh-jauh dari diri manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan cela yang terdapat pada manusia bermula dari hawa nafsu. Dan ketahuilah pula bahwa hawa nafsu bermula dari (4) perkara :
·      Pertama   : Melanggar perintah Allah Ta’ala.
·      Kedua      : Menjalankan amal baik yang disertai dengan riya’.
·  Ketiga : Bersantai-santai sehingga tidak memperhatikan betapa pentingnya wakt.
·   Keempat : Bermalas-malas dalam melakanakan kewajiban-kewajian perintah Allah Ta’ala.
Untuk menghilangkan ke empat perkara itu hendaklah jiwanya diisi dengan ketha’atan tekun dalam menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah Rasul s.a.w. dan mengenai perkara-perkara akan suatu kelebihan di dalam beribadaht di antaranya mengenai taqdir, mengenai karamaht dan lainnya. Hal ini jangan dikejar untuk ingin mengetahuinya sebelum menghilangkan aib (cela) yang terdapat pada diri sendiri. Dan janganlah bermaksud bahwa dengan amal-amaknya itu ia ingin mengetahui perkara ghaib. Sehingga hatinya di dalam ibadaht disibukkan oleh perkara-perkara tersebut.
Jadilah kamu yang selalu mencari istiqamah (kelurusan) dan janganlah menjadi orang yang mencari karamaht (kekeramatan) maka sesungguhnya jiwamu menjadi bergolak sedangkan kamu mencari karamaht, akan tetapi Allah Ta’ala mencarimu dengan kebenaran (kelurusan). Dan karena memang Haq Allah Ta’ala itu lebih utama bagimu daripada kamu mengutamakan bagian jiwamu.
Sehubungan dengan hal ini telah diceritakan didalam Hikayat Israilyyat yang bersumber dari Wahab bin Munabbih r.a. :
“Sesunggunya (duhulu) ada seorang laki-laki dari bani Israil menjalani puasa selama 70 tahun. Setiap tahun ia berbuka 7 hari. Kemudian ia memohon kepada Allah Ta’ala agar supaya diperlihatkan padanya bagaimana kekuatan syaithan di dalam mengalahkan manusia. Walaupun permintaannya itu sudah lama sekali diajukan, akan tetapi Allah Ta’ala belum mengabulkannya. Ia berkata dalam hatinya : Seandainya aku tahu atas kesalahanku dan dosa-dosaku yang terjadi antara aku dengan Tuhanku pastilah itu lebih baik bagiku dari perkara yang aku minta ini. Pada waktu itu juga Allah Ta’ala mengutus malaikat untuk menemuinya. Kemudian malaikat itu berkata : Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutusku untuk menemuimu. Dia (Allah) berkata kepadamu : Sesungguhnya perkataanmu yang telah lalu itu lebih disenangi Allah Ta’ala dari pada ibadahmu selama itu. Sesudah diberitahu oleh malaikat yang demikian itu, maka Allah Ta’ala membuka penglihatannya sehingga ia dapat melihat bala tentara iblis seketika itu yang telah mengepung bumi, sehingga tidak seorangpun manusia yang tak terkepung olehnya bagaikan pengepungan lalat.”

Sabtu, 05 Mei 2012

Ketentuan dan Qana'ah.

                                                                                      
                                                                         
                                                        I S L A M  dan  I L M U N Y A  
Ketentuan dan Qana’ah
Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada dialam ini, dan itu semua di dalam penguasaan dan ketentuanNya. Dengan kebijaksanaan dan kehendaknya sendiri, maka dari itu apa saja yang terjadi di dunia ini, semua berjalan dengan kehendak dan Iradaht yang telah direncanakan oleh Allah Ta’ala.
“Man tarka minal jahli syaiy-an man arada an yuhdi tsafiyl-waqti ghaiyra azh-hara hullahu fiyhi”. {“Tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki perubahan didalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”}.
“Wa kullu syaiy-in ‘indahu bimiq-daarin”.
{“Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir”}.
Oleh sebab itu jika ada orang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala pada waktu itu juga. Misalkan ada orang ingin disegerahkan pada tingkatan maqam tajrid (selalu beribadah) padahal pada sha’at itu ia berada pada tingkatan maqam khasab (berusaha), atau sebaliknya ia minta disegerakan pada tingkatan khasab padahal ia berada pada tingkatan tajrid. Begitu juga orang yang sedang jatuh sakit lalu ia minta disembuhkan dengan segera, atau minta disegerakan menjadi kaya padahal waktu itu ia berada dalam keadaan miskin. Orang yang sedemikian itu adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodoh orang, yang tidak memahami akan kudraht dan iradaht Allah Ta’ala.
Sebagaiman firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an :
“Yas-aluhu, man fissamawaati wal-ardhi. Kulla yawmin huwa fii syakni”(29) “Fabi-ayyi alaa-i rabbikuma tukadz-dzibaani”(30).
{“Semuayang ada di langit dan dibumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia mempunyai urusan. Maka ni’mat Tuhan kamu yang mana, yang kamu dustakan”}.
{QS. Ar Rahman. 29-30}.
Maka ma’na dari ayat tersebut dapat ma’nakan : Allah Ta’ala senantiasa dalam keadaan mencukupi, menghidupkan, mematikan, memelihara. Tetapi mengapa orang yang demikian itu dikatakan sedungu-dungunya manusia ?. Karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah Ta’ala, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah Ta’ala yang telah diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah Ta’ala kepadanya bukanlah termasuk yang tercela. Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah di tetapkan oleh Allah Ta’ala itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela).
Sebaiknya setiap orang yang menerima ketetapan (taqdir) Allah Ta’ala ini haruslah diterima dengan lapang dada dan ikhlash. Sebagaimana perilaku Nabi Muhammad s.a.w. ketika menerima ni’mat yang telah diberikan kepadanya, beliau selalu mengucapkan do’anya :
“Allahumma a-‘inniy ‘alaa dzikrika wa syukrika wa hhusni ‘ibadatuka”.
“Yaa Allah Tuhan kami, jagalah kami agar supaya selalu ingat kepada-Mu, dan tetap bersyukur kepada-Mu”.
Di antara satu shifat yang tidak boleh dikerjakan orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan menyerah kepada-Nya, yaitu jemu dan bosan atas rahmat Allah Ta’ala atas pekerjaan yang herus dihadapi, mitsalnya saja sebagai seorang petani, seorang pedagang. Mereka mempunyai anggapan bahwa pekerjaan sebagai petani, atau pedagang itu bisa menghalangi untuk menghadap kepada Allah Ta’ala. Kemudian ia minta kepada Allah Ta’ala agar dialihkan pekerjaannya itu kepada pekerjaan yang lain dengan segera. Karena ia telah bosan (jemu), maka permintaan yang demikian itu tidak selayaknya dan tidak pantas di lakukan oleh seorang hamba yang beriman. Karena perilaku yang demikian itu adalah termasuk perilaku yang tidak baik.
“Laa tathlub minhu anyukhri juka min hhalatin liyata’milaka siwaha falaw araadaka lasta’malaka min ghaiyri ikhrajin”.
“Janganlah kamu meminta kepada Allah agar Dia mengeluarkan kamu dari suatu keadaan yang bershifat keduniawian supaya memberikan pekerjaan kepadamu selain keadaan sebab seandainya. Dia menghendaki kamu, pastilah Dia memberipekerjaan kepadamu tanpa merubah/mengeluarkan (dari keadaan semula)”
Oleh karena itu  manusia khususnya orang beriman tidak perlu cemas dan takut akan keadaan yang sedang dihadapi, yang dianggapnya kurang menguntungkan itu. Walaupun yang dihadapi itu merupakan penderitaan pada lahirnya, padahal pada haqiqahtnya bagi orang yang mengerti dan bijaksana mereka mengetahui bahwa apa saja yang dideritanya itu mengandung hikmah yang sangat besar.