I S L A M dan I L M U N Y A
Ketentuan dan Qana’ah
Allah Ta’ala
adalah Dzat Yang Maha Merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segala
sesuatu yang ada dialam ini, dan itu semua di dalam penguasaan dan
ketentuanNya. Dengan kebijaksanaan dan kehendaknya sendiri, maka dari itu apa
saja yang terjadi di dunia ini, semua berjalan dengan kehendak dan Iradaht yang
telah direncanakan oleh Allah Ta’ala.
“Man tarka minal
jahli syaiy-an man arada an yuhdi tsafiyl-waqti ghaiyra azh-hara hullahu
fiyhi”. {“Tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat
bodoh) orang yang menghendaki perubahan didalam waktu (yang telah ditentukan)
menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”}.
“Wa kullu syaiy-in
‘indahu bimiq-daarin”.
{“Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan
ketentuan taqdir”}.
Oleh sebab itu
jika ada orang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan oleh
Allah Ta’ala pada waktu itu juga. Misalkan ada orang ingin disegerahkan pada
tingkatan maqam tajrid (selalu beribadah) padahal pada sha’at itu ia berada
pada tingkatan maqam khasab (berusaha), atau sebaliknya ia minta disegerakan
pada tingkatan khasab padahal ia berada pada tingkatan tajrid. Begitu juga
orang yang sedang jatuh sakit lalu ia minta disembuhkan dengan segera, atau
minta disegerakan menjadi kaya padahal waktu itu ia berada dalam keadaan
miskin. Orang yang sedemikian itu adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodoh
orang, yang tidak memahami akan kudraht dan iradaht Allah Ta’ala.
Sebagaiman firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an :
“Yas-aluhu, man
fissamawaati wal-ardhi. Kulla yawmin huwa fii syakni”(29) “Fabi-ayyi alaa-i
rabbikuma tukadz-dzibaani”(30).
{“Semuayang ada di langit dan dibumi selalu meminta
kepada-Nya. Setiap waktu Dia mempunyai urusan. Maka ni’mat Tuhan kamu yang
mana, yang kamu dustakan”}.
{QS. Ar Rahman.
29-30}.
Maka ma’na dari
ayat tersebut dapat ma’nakan : Allah Ta’ala senantiasa dalam keadaan mencukupi,
menghidupkan, mematikan, memelihara. Tetapi mengapa orang yang demikian itu dikatakan
sedungu-dungunya manusia ?. Karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum
dikehendaki Allah Ta’ala, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan
ketetapan dan keputusan Allah Ta’ala yang telah diberikan kepadanya. Padahal
apa saja yang telah ditetapkan Allah Ta’ala kepadanya bukanlah termasuk yang
tercela. Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah di tetapkan oleh
Allah Ta’ala itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela).
Sebaiknya setiap
orang yang menerima ketetapan (taqdir) Allah Ta’ala ini haruslah diterima
dengan lapang dada dan ikhlash. Sebagaimana perilaku Nabi Muhammad s.a.w.
ketika menerima ni’mat yang telah diberikan kepadanya, beliau selalu
mengucapkan do’anya :
“Allahumma a-‘inniy
‘alaa dzikrika wa syukrika wa hhusni ‘ibadatuka”.
“Yaa Allah Tuhan kami, jagalah kami agar supaya
selalu ingat kepada-Mu, dan tetap bersyukur kepada-Mu”.
Di antara satu
shifat yang tidak boleh dikerjakan orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan
menyerah kepada-Nya, yaitu jemu dan bosan atas rahmat Allah Ta’ala atas
pekerjaan yang herus dihadapi, mitsalnya saja sebagai seorang petani, seorang
pedagang. Mereka mempunyai anggapan bahwa pekerjaan sebagai petani, atau
pedagang itu bisa menghalangi untuk menghadap kepada Allah Ta’ala. Kemudian ia
minta kepada Allah Ta’ala agar dialihkan pekerjaannya itu kepada pekerjaan yang
lain dengan segera. Karena ia telah bosan (jemu), maka permintaan yang demikian
itu tidak selayaknya dan tidak pantas di lakukan oleh seorang hamba yang
beriman. Karena perilaku yang demikian itu adalah termasuk perilaku yang tidak
baik.
“Laa tathlub
minhu anyukhri juka min hhalatin liyata’milaka siwaha falaw araadaka lasta’malaka
min ghaiyri ikhrajin”.
“Janganlah kamu meminta kepada Allah agar Dia
mengeluarkan kamu dari suatu keadaan yang bershifat keduniawian supaya
memberikan pekerjaan kepadamu selain keadaan sebab seandainya. Dia menghendaki
kamu, pastilah Dia memberipekerjaan kepadamu tanpa merubah/mengeluarkan (dari
keadaan semula)”
Oleh karena
itu manusia khususnya orang beriman
tidak perlu cemas dan takut akan keadaan yang sedang dihadapi, yang dianggapnya
kurang menguntungkan itu. Walaupun yang dihadapi itu merupakan penderitaan pada
lahirnya, padahal pada haqiqahtnya bagi orang yang mengerti dan bijaksana
mereka mengetahui bahwa apa saja yang dideritanya itu mengandung hikmah yang
sangat besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar