Selasa, 08 Mei 2012

Shifat tercala pada manusia.

                                                                                         
                                                                             
                                                           I S L A M  dan  I L M U N Y A  


Shifat tercela pada diri manusia.
Adapun shifat tercela yang biasa terdapat pada manusia itu jika dilihat banyak sekali tertampak dan tidak mampu untuk dipungkiri seperti, sombong, ujub, riya, budi yang buruk, gila jabatan (kedudukan) dan merasa derajat tinggi, meneliti cela orang lain dan berperasangka buruk, dan masih banyak lagi.
“Tasyawwu fuqa ilaa maa bathana fiyka minal-‘uyuwbi khaiyrun min tasyawwu fiqa ilaa maa hhujiba ‘anka minal-ghuyuwbi”.
“Usahamu untu mengetahui apa yang tersimpan di dalam dirimu dari berbagai macam cela itu adalah baik, dari pada usahamu kepada apa yang terhalang dari kamu dari bebagai perkara yang ghaib”.
Di dalam Al Qur’an manusia yang beriman dilarang meneliti (cela) orang lain separti halnya di dalam Al Qur’an :
“Yaa ayyuhal-ladziyna amanuj-tanibuw kasyiranm minazh-zhanni inna ba’dhadzanni itsmun walaa tajas-sasu walaa yaghtabab-ba’dhukum ba’dhan ayuhhibbu ahhadukum an yak kula lahhma akhihi miytan fakarih-tumuwhu wat taqullaha in nallaha tawwabunr-rahhimun”.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik terhadapnya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubaht lagi Maha Penyayang”.{QS. Hujuraat. 12}
Dalam sebuatahui, haditspun menerangkan :
“Dari Abu Hurairah r.a. Bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda: Tahukah kalian, apakah ghibah itu ? Para shahabat berkata Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui, beliau berkata: Ghibah itu ialah menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara ia tidak tahu. Seorang berkata : Bagaimana kalau pada saudaraku itu apa yang aku katakan ? Beliau menjawab: Kalau padanya ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau telah berdusta”.{HR. Imam Muslim}.
Dan pada sebuah hadits yang lain :
“ ‘An Anasin radhiallahi ‘anhu qaala rasulullhi shalallahu alaiyhi wa sallamu. Thubaa liman syaghalahu ‘ayyubuhu ‘an-‘uyubinnasi”.
“Dari Anas r.a. berkata : Telah bersabda Rasulullah s.a.w. berbahagialah orang yang selalu di ingatkan oleh ‘aibnya sendiri dari pada ‘aibnya orang lain”. (HR. Al Bazzar).
Maka dari itu untuk membersihkan jiwa selalu mengoreksi cela yang ada di dalam diri. Yang seharusnya cela-cela itu terbuang jauh-jauh dari diri manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan cela yang terdapat pada manusia bermula dari hawa nafsu. Dan ketahuilah pula bahwa hawa nafsu bermula dari (4) perkara :
·      Pertama   : Melanggar perintah Allah Ta’ala.
·      Kedua      : Menjalankan amal baik yang disertai dengan riya’.
·  Ketiga : Bersantai-santai sehingga tidak memperhatikan betapa pentingnya wakt.
·   Keempat : Bermalas-malas dalam melakanakan kewajiban-kewajian perintah Allah Ta’ala.
Untuk menghilangkan ke empat perkara itu hendaklah jiwanya diisi dengan ketha’atan tekun dalam menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah Rasul s.a.w. dan mengenai perkara-perkara akan suatu kelebihan di dalam beribadaht di antaranya mengenai taqdir, mengenai karamaht dan lainnya. Hal ini jangan dikejar untuk ingin mengetahuinya sebelum menghilangkan aib (cela) yang terdapat pada diri sendiri. Dan janganlah bermaksud bahwa dengan amal-amaknya itu ia ingin mengetahui perkara ghaib. Sehingga hatinya di dalam ibadaht disibukkan oleh perkara-perkara tersebut.
Jadilah kamu yang selalu mencari istiqamah (kelurusan) dan janganlah menjadi orang yang mencari karamaht (kekeramatan) maka sesungguhnya jiwamu menjadi bergolak sedangkan kamu mencari karamaht, akan tetapi Allah Ta’ala mencarimu dengan kebenaran (kelurusan). Dan karena memang Haq Allah Ta’ala itu lebih utama bagimu daripada kamu mengutamakan bagian jiwamu.
Sehubungan dengan hal ini telah diceritakan didalam Hikayat Israilyyat yang bersumber dari Wahab bin Munabbih r.a. :
“Sesunggunya (duhulu) ada seorang laki-laki dari bani Israil menjalani puasa selama 70 tahun. Setiap tahun ia berbuka 7 hari. Kemudian ia memohon kepada Allah Ta’ala agar supaya diperlihatkan padanya bagaimana kekuatan syaithan di dalam mengalahkan manusia. Walaupun permintaannya itu sudah lama sekali diajukan, akan tetapi Allah Ta’ala belum mengabulkannya. Ia berkata dalam hatinya : Seandainya aku tahu atas kesalahanku dan dosa-dosaku yang terjadi antara aku dengan Tuhanku pastilah itu lebih baik bagiku dari perkara yang aku minta ini. Pada waktu itu juga Allah Ta’ala mengutus malaikat untuk menemuinya. Kemudian malaikat itu berkata : Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutusku untuk menemuimu. Dia (Allah) berkata kepadamu : Sesungguhnya perkataanmu yang telah lalu itu lebih disenangi Allah Ta’ala dari pada ibadahmu selama itu. Sesudah diberitahu oleh malaikat yang demikian itu, maka Allah Ta’ala membuka penglihatannya sehingga ia dapat melihat bala tentara iblis seketika itu yang telah mengepung bumi, sehingga tidak seorangpun manusia yang tak terkepung olehnya bagaikan pengepungan lalat.”

Sabtu, 05 Mei 2012

Ketentuan dan Qana'ah.

                                                                                      
                                                                         
                                                        I S L A M  dan  I L M U N Y A  
Ketentuan dan Qana’ah
Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada dialam ini, dan itu semua di dalam penguasaan dan ketentuanNya. Dengan kebijaksanaan dan kehendaknya sendiri, maka dari itu apa saja yang terjadi di dunia ini, semua berjalan dengan kehendak dan Iradaht yang telah direncanakan oleh Allah Ta’ala.
“Man tarka minal jahli syaiy-an man arada an yuhdi tsafiyl-waqti ghaiyra azh-hara hullahu fiyhi”. {“Tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki perubahan didalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”}.
“Wa kullu syaiy-in ‘indahu bimiq-daarin”.
{“Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir”}.
Oleh sebab itu jika ada orang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala pada waktu itu juga. Misalkan ada orang ingin disegerahkan pada tingkatan maqam tajrid (selalu beribadah) padahal pada sha’at itu ia berada pada tingkatan maqam khasab (berusaha), atau sebaliknya ia minta disegerakan pada tingkatan khasab padahal ia berada pada tingkatan tajrid. Begitu juga orang yang sedang jatuh sakit lalu ia minta disembuhkan dengan segera, atau minta disegerakan menjadi kaya padahal waktu itu ia berada dalam keadaan miskin. Orang yang sedemikian itu adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodoh orang, yang tidak memahami akan kudraht dan iradaht Allah Ta’ala.
Sebagaiman firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an :
“Yas-aluhu, man fissamawaati wal-ardhi. Kulla yawmin huwa fii syakni”(29) “Fabi-ayyi alaa-i rabbikuma tukadz-dzibaani”(30).
{“Semuayang ada di langit dan dibumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia mempunyai urusan. Maka ni’mat Tuhan kamu yang mana, yang kamu dustakan”}.
{QS. Ar Rahman. 29-30}.
Maka ma’na dari ayat tersebut dapat ma’nakan : Allah Ta’ala senantiasa dalam keadaan mencukupi, menghidupkan, mematikan, memelihara. Tetapi mengapa orang yang demikian itu dikatakan sedungu-dungunya manusia ?. Karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah Ta’ala, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah Ta’ala yang telah diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah Ta’ala kepadanya bukanlah termasuk yang tercela. Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah di tetapkan oleh Allah Ta’ala itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela).
Sebaiknya setiap orang yang menerima ketetapan (taqdir) Allah Ta’ala ini haruslah diterima dengan lapang dada dan ikhlash. Sebagaimana perilaku Nabi Muhammad s.a.w. ketika menerima ni’mat yang telah diberikan kepadanya, beliau selalu mengucapkan do’anya :
“Allahumma a-‘inniy ‘alaa dzikrika wa syukrika wa hhusni ‘ibadatuka”.
“Yaa Allah Tuhan kami, jagalah kami agar supaya selalu ingat kepada-Mu, dan tetap bersyukur kepada-Mu”.
Di antara satu shifat yang tidak boleh dikerjakan orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan menyerah kepada-Nya, yaitu jemu dan bosan atas rahmat Allah Ta’ala atas pekerjaan yang herus dihadapi, mitsalnya saja sebagai seorang petani, seorang pedagang. Mereka mempunyai anggapan bahwa pekerjaan sebagai petani, atau pedagang itu bisa menghalangi untuk menghadap kepada Allah Ta’ala. Kemudian ia minta kepada Allah Ta’ala agar dialihkan pekerjaannya itu kepada pekerjaan yang lain dengan segera. Karena ia telah bosan (jemu), maka permintaan yang demikian itu tidak selayaknya dan tidak pantas di lakukan oleh seorang hamba yang beriman. Karena perilaku yang demikian itu adalah termasuk perilaku yang tidak baik.
“Laa tathlub minhu anyukhri juka min hhalatin liyata’milaka siwaha falaw araadaka lasta’malaka min ghaiyri ikhrajin”.
“Janganlah kamu meminta kepada Allah agar Dia mengeluarkan kamu dari suatu keadaan yang bershifat keduniawian supaya memberikan pekerjaan kepadamu selain keadaan sebab seandainya. Dia menghendaki kamu, pastilah Dia memberipekerjaan kepadamu tanpa merubah/mengeluarkan (dari keadaan semula)”
Oleh karena itu  manusia khususnya orang beriman tidak perlu cemas dan takut akan keadaan yang sedang dihadapi, yang dianggapnya kurang menguntungkan itu. Walaupun yang dihadapi itu merupakan penderitaan pada lahirnya, padahal pada haqiqahtnya bagi orang yang mengerti dan bijaksana mereka mengetahui bahwa apa saja yang dideritanya itu mengandung hikmah yang sangat besar.