I S L A M dan I L M U N Y A
I. Syariat, Thariqat,
Haqiqat, Ma’rifat.
Banyak dibicarakan sudah tentang empat bagian ini yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan antara satu dengan lainnya didalam pengtahuan akan Islam.
Maka untuk pengantar dan pendahuluan pengetahuan selanjutnya, ada
baiknya ke-empat bagian pokok ini
diketengahkan.
1. Syariat.
Dari segi bahasa
artinya “tata-hukum”. Disadari bahwa dikehidupan dunia ini tidak ada yang terlepas dari “hukum”.
Termasuk manusia sebagai makhluk
dan sebagai hamba Allah, perlu diatur dan ditata, sehingga tercipta ketertiban yang menyangkut
hubungan terhadap manusia, manusia dengan alam,
serta manusia kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Didalam materi hukumnya,
dimana manusia sebagai objeknya, termaktub didalam aturan Islam, seperti Ilmu
Fiqih, Ilmu Adab dan lain – lainnya. Dalam Ajaran Islam, melaksanakan
aturan dan ketentuan hukum tanpa memahami dan menghayatinya “apa tujuan
hukum”, maka pelaksanaannya tiada
memiliki nilai shah atau dapat
membatalkan kesempurnaan ibadaht itu sendiri, dan membuat kesia – siaan dari
segala perbuatannya.
“Fasyarii-‘atun akhdzun
bidii-nilkhaliqi – waqiyaa-muhu bil-amri wannahyin-
jalaa”.
“Syariat adalah
berpegang pada aturan Allah yang menciptakan alam dan menjalankan perintahNya serta meninggalkan
larangan–laranganNya”.
Dengan kata lain syariat diartikan peraturan – peraturan
yang mencakup termasuk di dalamnya soal
– soal yang wajib, sunnah, haram,
makhruh, dan mubah. Jadi hukum
syara’ adalah berhubungan dengan perintah– perintah dan larangan–larangan Agama. Masuk dalam
syariat segala amalan – amalan dzahir seperti, shalat,
puasa, zakat, haji, jihad fisabilillah, dan juga
hukum – hukum bidang ekonomi, juga ilmu
sosial.
Dan syariat adalah
salah satu unsur yang harus dilaksanakan,
tidak bisa ditinggalkan bahkan merupakan hal yang mendasar bagi yang
lain. Antara syariaht dengan haqiqaht
adalah dua hal
yang tidak bisa dipisah –
pisahkan bagi orang yang bertashawwuf,
dan saling berpautan oleh karena itu
kaum mutashawwuf berkata :
“Innal–haqiqata bilaa
syarii–‘atin baa–thilatun wasy – syarii–‘atu bilaa haqiqatin
‘aathilatun”. {“Sesungguhnya haqiqat
tanpa syariat adalah
batal dan syariat
tanpa haqiqat sia – sia
dan tidak berarti”}.
Untuk mencapai tujuan dari segala apa yang telah menjadi aturan,
yaitu apa yang telah diwajiban bagi
manusia, atas segala perintah-Nya dan menjauhkan dirinya dari larangan – larangan-Nya, tentu memerlukan “Ilmu” atau “Jalan” yang
harus diketahui. Maka tanpa mengetahui
jalannya, tentu kesulitan mencapai
tujuan itu. Hal inilah yang dikata atau dinamai
Ilmu Thariqat.
2. Thariqat.
Dari
persamaan kata Thariqat menurut
segi bahasa “madzhab”
yang
artinya “jalan”,
atau petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadaht
sesuai dengan
ajaran yang ditentukan
dan di sunnahkan
Nabi Muhammad s.a.w, dan
dikerjakan oleh sahabat
dan tabi’in. Dengan
demikian ahli tashawwuf
yaqin bahwa peraturan-peraturan yang
tersebut dalam ilmu syariat dapat
dikerjakan dalam pelaksanaan yang
sebaik – baiknya.
Dan seseorang didalam
Islam jika
tidak memahami (mengerti) akan ilmu
tashawwuf acap kali
bertanyak secara mengejek,
mengapa ada pula
ilmu thariqat, apa tidak cukup ilmu fiqih itu saja dikerjakan untuk melaksanakan
ajaran Islam
itu. Pertanyaan yang
demikian itu sebenarnya
sudah melakukan ilmu
thariqat tatkala gurunya
mengajarkan ilmu fiqih itu
kepadanya, misalnya shalat, menunjukan dan membimbing dia bagaimana cara
melakukan ibadaht shalat itu, dari niat, takbir, rukuk, sujud dan tertib semua bimbingan itu sesungguhnya dia melaksanakan
perbuatan thariqat.
Mengetahui
adanya jalan, perlu
pula mengetahui “cara”
melintasi jalan agar
tujuan tercapaikan. Tujuan
adalah kebenaran, maka untuk melintasi
harus dengan benar
pula. Untuk ini harus
sudah ada persiapan
bathin, ya’ni
sikap yang benar.
Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga
perlu adanya latihan-latihan tertentu dengan cara tertentu pula. Sekitar abad kedua dan ketiga Hijriyah
banyak golongan-golongan, umumnya terdiri dari golongan “fuqara
wal masakin” dengan metode
latihan, berintikan ajaran Dzikrullah. Sumber pegangan tidak terlepas dari
ajaran Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dan golongan-golongan ini menamakan dirinya dengan nama
thariqat yang berpredikat (qaddasallahu
sirrahu) masing-masing sesuai nama pembawa ajaran itu, seperti
:
Thariqat Qadiriyah. : Syeikh Abdul Qadir Jailani q.s.
Thariqat Samaniyah. : Syeikh Muhammad Saman q.s.
Thariqat Syadzaliyah, : Syeikh Abu Hasan As-Syadzili q.s.
Thariqat Naqsyabandiyah : Syeikh
Baha’uddin Naqsyabandiyah q.s.
Thariqat Rifaiyah. : Syeikh Ahmad bin Abil-Hasan Ar-Rifai q.s.
Dan banyak lagi nama-nama Thariqat yang mereka anggap sejalan dengan apa yang di firmankan
Allah Ta’ala
didalam kitab suci Al-Qur’an :
“Wa-an lawis-taqaa mu ‘alaath-thariqati la-asqaiynaa
hum maa-an rghadaqan”.
“Jika
mereka benar-benar istiqamah ( tetap
pendirian / terus-menerus ) diatas thariqat
(jalan) itu,
sesungguhnya akan Kami (
Allah ) beri minum mereka dengan
air
(hikmah)
yang berlimpah-limpah”.(QS. Al- Jin, 16)
Banyak Ulama yang
berpendapat bahwa dari sejumlah thariqat-thariqat yang tersebar didunia Islam, ada
yang Mu’tabar ( di akui )
dan Ghairu Mu’tabar ( tidak diakui ).
Seseorang yang memasuki Thariqat, dinamai salik (orang yang berjalan), sedang
cara yang mereka tempuh dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh
seorang salik bila ingin sampai
kepada tujuan, antara lain khalwat
( menyendiri ). Didalam menjalani khalwat diperlukan muraqabah atau mengintai prilaku diri, dan
muhasabah atau menghitung-hitung,
merenungi diri mana yang baik dan
terpuji dan mana yang jelek serta mana
pula yang tercela, mujahadah atau tekun, rajin,
sungguh-sungguh, dan banyak lagi istilah-istilah riyadhah lahir dan bathin, sesuai dengan arahan atau petunjuk dari Syeikh / Mursyid ( guru ),
Thariqat itu sendiri.
3. H a
q i q a t.
Bermula dari pada ma’na yang sebenarnya haqiqat yang berarti “kebenaran” atau “kenyatan
asal” atau “yang
sebenar-benarnya”. Maka bahwa keempat akan ilmu seperti : Syariat, Thariqat,
Haqiqat, dan Ma’rifat.
Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya karena syariat itu terpilin atau terjalin akan haqiqat
dan haqiqat itu terjalin
atas syariat.
Kebenaran dalam hidup dan kehidupan, inilah yang dicari
dan ini pula yang dituju. Haqiqat dunia,
haqiqat isi dunia dan haqiqat diri yang mengatahui akan kedua itu
sesungguhnya dikarenakan rahmat Allah
Ta’ala, yang menjadikan akan manusia sebagai fitrah kekhalifahan. Maka
dari pada itu syariat untuk
mewujudkan akan amal dan haqiqat
mewujudkan ihwal. Syariat ditujukan
kepada manusia untuk melaksanakan ibadaht
serta sampai kepadanya akan amar dan
nahi
adalah untuk menjelaskan kecintaan dan mendirikan keterangan hukun dan nyatanya. Sedangkan haqiqat
pelaksanaannya dalam khuluk
dan iradaht, hasilnya akan diperoleh mereka yang terpilih
daripada hamba-Nya yang dicintai
oleh Allah Ta’ala. Maka thariqat adalah latihan untuk menempatkan diri setingkat demi
setingkat lebih tinggi dan lebih dekat kepada
Allah Ta’ala.
Perbedaan thriqat dan haqiqat tiada adanya, bahkan
sambung-menyambung antara satu sama lainnya.
Dan kebenaran itu
bukan hanya terlatak akan aqal pikiran dan hati tetapi juga pada rasa, yakni
“rasa jasmani” yang dapat
dirasakan dengan rasa pahit, manis, asam, asin dan sebagainya. Ada yang disebut rasa-ruhani yang dapat
merasakan gembira, sedih, bingung, kecewa, ceria dan sebagainya. Dan terdapat
pula pada diri manusia yang disebut rasa nurani rasa yang penuh cahaya “rahmatan lil’alaamin”, karunia
Allah Ta’ala atas segala keshalihan dan ketekunan didalam
ketaatannya kepada Allah Jalla wa azza. Dalam karunia Allah ini Para Arif Billah menyebutkannya dengan
istilah :
“Amrun dzauqy” {Yaitu, urusan yang paling dalam, lepas dari segala isyarat dan ‘itibar lalu dengan penuh kerendahan hati berkata kepada
atas rahmat Allah Ta’ala}.
“Man lam yadzuq lam yadri”. {“Siapa
tidak merasa tidak akan mengetahui”}.
“Mayakhruju baina-syafatain illa isyarat
wal ‘itibar” {“Apa yang keluar dari
dua bibir adalah hanya sekedar isyarat dan ‘itibar”}.
4. M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari kata ‘arafa
yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa
mengenal dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal Tuhannya”). Jika dilihat dari perkataan tentang diri
sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan,
kekurangan, kelemahan, fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang
dapat (sanggup) dan mampu
mengenal-Nya dalam arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala.
Didalam pelaksanaan akan
ilmu ma’rifat atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering
terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang
mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki
itu :
Hai Abu
Qasim, “apakah tuan melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan”
maka Al-Junaidi berkata, “Penanya yang terhormat, Kami tidak
menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak mensucikan apa-apa yang
tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana cara tuan melihat Tuhan”? Imam Al-Junaidi r.a. berkata :
(Iqazdul Himan).
“Alkaifiyyatu ma’luu-matun fii haqqil-basyari
mahh-hulatun fii haqqir-rabbi. Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari
bimusyaahadatil-‘ayaani walakin ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma
tataraqqa minal-ma’rifati ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar)
itu positif, sedang shifat-shifat dalam haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya,
maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat ini dengan penglihatan mata kepala, akan
tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki
dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah penglihatan (rukyat) Nur karunia dari Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya
Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari
shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah
orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi
r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang
itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa
seperti pada masa Al-Junaidi r.a.
terjadi juga pada masa Syeikh Abdul
Qadir- Jailany. Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal
itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau
berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan
demikianlah sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya
(“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha
Agung. Kemudian tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan
matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf
mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu hhanniytu ‘alal basyariy-yatin
‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa yaral-bashiyru illal
ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
“Apabila Ruhaniah (al-ruhhaniy) telah meliputi atau
berkuasa atas Indriah (al-basyariy) maka berbaliklah penglihatan mata
(al-bashaar) kedalam penglihatan hati sanubari
(al-bashiyratu) maka ketika itu tiadalah
penglihatan mata itu kecuali yang (al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati
(sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.