I S L A M dan I L M U N Y A
4. M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari kata ‘arafa
yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa
mengenal dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal Tuhannya”). Jika dilihat dari perkataan tentang diri
sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan,
kekurangan, kelemahan, fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang
dapat (sanggup) dan mampu
mengenal-Nya dalam arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala.
Didalam pelaksanaan akan
ilmu ma’rifat atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering
terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang
mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki
itu :
Hai Abu Qasim, “apakah
tuan melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan” maka Al-Junaidi berkata, “Penanya
yang terhormat, Kami tidak menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak
mensucikan apa-apa yang tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana cara
tuan melihat Tuhan”? Imam Al-Junaidi
r.a. berkata :
(Iqazdul Himan).
“Alkaifiyyatu
ma’luu-matun fii haqqil-basyari mahh-hulatun fii haqqir-rabbi.
Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari bimusyaahadatil-‘ayaani walakin
ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma tataraqqa minal-ma’rifati
ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat
dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar) itu positif, sedang shifat-shifat dalam
haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya, maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat
ini dengan penglihatan mata kepala, akan tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan
kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah
penglihatan (rukyat) Nur karunia dari
Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari
shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah
orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi
r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang
itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa
seperti pada masa Al-Junaidi r.a.
terjadi juga pada masa Syeikh Abdul
Qadir- Jailany. Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal
itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau
berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan
demikianlah sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya
(“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha
Agung. Kemudian tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan
matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf
mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu
hhanniytu ‘alal basyariy-yatin ‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa
yaral-bashiyru illal ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
“Apabila Ruhaniah
(al-ruhhaniy) telah meliputi atau berkuasa atas Indriah (al-basyariy)
maka berbaliklah penglihatan mata (al-bashaar) kedalam penglihatan hati
sanubari
(al-bashiyratu) maka ketika itu
tiadalah penglihatan mata itu kecuali yang(al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati
(sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.
alhamdulillah
BalasHapus