Jumat, 30 Maret 2012

Ilmu Ma'rifat.

                                                                          
                                                                                                            
                                                 I S L A M  dan  I L M U N Y A
4.     M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari kata  ‘arafa yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa mengenal dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal  Tuhannya”).  Jika dilihat dari perkataan tentang diri sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan, kekurangan, kelemahan, fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang dapat (sanggup) dan mampu mengenal-Nya dalam arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. 
Didalam pelaksanaan akan ilmu ma’rifat  atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki itu :
Hai Abu Qasim, “apakah tuan melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan” maka Al-Junaidi berkata, “Penanya yang terhormat, Kami tidak menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak mensucikan apa-apa yang tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana cara tuan melihat Tuhan”? Imam Al-Junaidi r.a. berkata :
 (Iqazdul Himan).
“Alkaifiyyatu ma’luu-matun fii haqqil-basyari mahh-hulatun fii haqqir-rabbi. Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari bimusyaahadatil-‘ayaani walakin ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma tataraqqa minal-ma’rifati ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar) itu positif, sedang shifat-shifat dalam haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya, maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat ini dengan penglihatan mata kepala, akan tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah penglihatan (rukyat) Nur karunia dari Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa seperti pada masa Al-Junaidi r.a. terjadi juga pada masa Syeikh Abdul Qadir- Jailany.  Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan demikianlah sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya (“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha Agung.  Kemudian tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu hhanniytu ‘alal basyariy-yatin ‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa yaral-bashiyru illal ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
              
“Apabila Ruhaniah (al-ruhhaniy) telah meliputi atau berkuasa atas Indriah  (al-basyariy) maka berbaliklah penglihatan mata (al-bashaar) kedalam penglihatan hati sanubari
                (al-bashiyratu) maka ketika itu tiadalah penglihatan mata itu kecuali  
                yang(al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati   
                (sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.

1 komentar: