I S L A M dan I L M U N Y A
Amal dan manfa’at udzlah.
Mengasingkan diri dari khalayak ramai {udzlah} didalam mengamalkan suatu
‘amal sangatlah penting, hal itu
disebabkan karena berhubungan dengan khalayak
ramai dapat menimbulkan fikiran-fikiran
ke alam duniawi yang bisa mencemari (mengotori) hati dan jiwa manusia
sehingga rusaklah amalnya.
“Maa nafa’a qalba syaiy-u mitsla ‘udzlahtin yadkhulu bihaa miylaanu
hikratin”.
“Tidak
ada sesuatu yang dapat memberi manfa’at pada hati seseorang hanyalah udzlah
{mengasingkan diri}, sebab dengan adanya udzlah itu {manusia} dapat berfikir
secara luas”.
Perbedaan orang yang berudzlah
{mengasingkan diri} dari khalayak ramai {keramaian} hatinya akan jernih, serta alam fikirannya itu tetap tertuju
kepada alam amal, baik itu hal-hal
yang menyangkut akan Ilmu akhirat tujuan
yang sebenarnya {tujuan yang haqiqi},
tidak risau akan urusan dunia. Karena urusan duniawi banyak merangsang
nafsu untuk berbuat sesuatu yang bisa melanggar
peraturan Agama.
Dalam
hal udzlah ini dapat dilihat atau dicermati dari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau sering mengasingkan diri dari pergaulan orang-orang Quraisy {ke gua Khira’}.
Hingga beliau diangkat menjadi Rasulullah
s.a.w.
Maka
bisa difahami bahwa ma’na daripada Udzlah ‘itibarnya, adalah suatu
tindakan yang sangat penting bagi hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala.
Sebab dengan udzlah itu hati
hamba yang beriman menjadi terang
dan luas fikirannya untuk berfikir alam keghaiban dan alam
akhirat. Dan inilah yang dikatakan fikiran
jernih {tafakkur}, yaitu mentafakurkan
sesuatu mengenai akhirat itu adalah termasuk ibadaht yang baik
dan terpuji.
“Tafakkuru saa-‘atin khaiyrun
min-‘ibadahti sab-‘iyna sanatan”
“Berfikir
sejenak {ingatan kepada
Allah} itu lebih baik dari pada
ibadaht tujuh puluh tahun lamanya {tanpa
ingat Allah}”.
Perlu
diketahui dan dingat bahwa udzlah itu
merupakan perantara (alat) saja, sedang yang menjadi tujuan pokok orang yang berudzlah adalah {tafakkur}. Ada
beberapa perkataan yang hampir bersamaan
artinya dengan udzlah diantaranya, tetapi
tiap-tiap kata itu mempunyai arti tersendiri menurut istilah mutashawwifin.
Tajrid. Yaitu, menghilangkan dalam diri segala shifat-shifat
dan sebab-sebab yang dapat mengikat seseorang kepada dunia, dan menghadapkan
seluruh kehidupannya dan tawakkalnya kepada Allah semata-mata.
Tafarrud {infirad}.
Yaitu, yang berjalan bersama-sama dengan pemisahan
zhahir (lahir) dari pergaulan, juga dengan maksud salah satu dari pada itu,
supaya jangan kejahatan manusia merasuki kepada dirinya atau agar
keburukan-keburukan budi pekertinya tidak membawa akibat buruk kepada pergaulan
umumnya. Dan tidak saja memisahkan diri dari masyarakat tetapi termasuk
memisahkan diri dari keluarga sendiri dan berjalan bersamaan dengan segala
amalnya terutama tiada terlepas ingatan kepada Allah Ta’ala.
Hijrah. Yaitu, yang meskipun berarti memishkan diri juga dari
sesuatu masyarakat, mempunyai tujuan yang sangat berlainan. Hijrah mempunyai tujuan pemisahan yang
bershifat sosial dan politis. Nabi
Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dengan pertimbangan, bahwa pergaulan dengan
suku Quraisy tidak dapat dilanjutkan lagi, karena tidak terdapat lagi titik
terang hubungan dengan orang-orang Islam.
Dan juga Imam Al-Ghazali
menerangkan, bahwa ada waktunya orang melakukan udzlah itu.
Pertama. Tatkala
sesuatu masa mengalami kerusakan dan tatkala orang sangat takut terjadi fitnah
terhadap Agama, dikala itu udzlah dari
pada manusia lebih baik.
Kedua. Jika tanda-tanda kelihatan sebagai yang dikatakan Nabi s.a.w. : “Tatkala manusia
sudah merusakkan janji-janjinya dan tatkala manusia sudah meringan-ringankan
Amanah yang dipercayakan rakyat {umat} kepadanya”. Dan
tatkala Abdullah bin Amir bin ‘Ash bertanya : “Apa
yang dapat diperbuatnya dikala-kala kejadian tersebut”. Nabi s.a.w. menjawab : “Tinggal
dirumah, kendalikan lidahmu kerjakan yang “ma’ruf” dan tinggalkan yang “mungkar”,
kepadamu diperintahkan Allah kewajiban
yang khusus, oleh karena itu tinggalkan yang umum !”
Dalam
hadits-hadits yang lain, masa yang disebutkan Rasulullah s.a.w. dijelaskan, bahwa : “Orang-orang merasa tidak aman, banyak tukang khutbah
sedikit Ulama, banyak soal tanya jawab sedikit yang dapat menahan maksi’at, kurang
ibadaht {shalaht}, banyak menjual agama dengan keuntungan sedikit”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar