Sabtu, 07 April 2012

Amal dan manfa'at udzlah.

                                                                                       
                                                                             
                                             I S L A M  dan  I L M U N Y A                                                                                                      

     Amal dan manfa’at udzlah.
Mengasingkan diri dari khalayak ramai {udzlah} didalam mengamalkan suatu ‘amal sangatlah penting, hal itu disebabkan karena berhubungan dengan khalayak ramai dapat menimbulkan fikiran-fikiran ke alam duniawi yang bisa mencemari (mengotori) hati dan jiwa manusia sehingga rusaklah amalnya.
“Maa nafa’a qalba syaiy-u  mitsla ‘udzlahtin yadkhulu bihaa miylaanu hikratin”.
“Tidak ada sesuatu yang dapat memberi manfa’at pada hati seseorang hanyalah udzlah {mengasingkan diri}, sebab dengan adanya udzlah itu {manusia} dapat berfikir secara luas”.
Perbedaan orang yang berudzlah {mengasingkan diri} dari khalayak ramai {keramaian} hatinya akan jernih, serta alam fikirannya itu tetap tertuju kepada alam amal, baik itu hal-hal yang menyangkut akan Ilmu akhirat tujuan yang sebenarnya {tujuan yang haqiqi}, tidak risau akan urusan dunia.  Karena urusan duniawi banyak merangsang nafsu untuk berbuat sesuatu yang bisa melanggar peraturan Agama.
Dalam hal udzlah ini dapat dilihat atau dicermati dari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.  Beliau sering mengasingkan diri dari pergaulan orang-orang Quraisy {ke gua Khira’}. Hingga beliau diangkat menjadi Rasulullah s.a.w.
Maka bisa difahami bahwa ma’na daripada Udzlah ‘itibarnya,  adalah suatu tindakan  yang sangat penting bagi hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala. Sebab dengan udzlah itu hati hamba yang beriman menjadi terang dan luas fikirannya untuk berfikir alam keghaiban dan alam akhirat. Dan inilah yang dikatakan fikiran jernih {tafakkur}, yaitu  mentafakurkan sesuatu mengenai  akhirat  itu adalah termasuk  ibadaht  yang baik dan terpuji.
“Tafakkuru saa-‘atin khaiyrun min-‘ibadahti sab-‘iyna sanatan”
“Berfikir sejenak {ingatan kepada Allah} itu lebih baik dari pada ibadaht tujuh puluh tahun lamanya {tanpa ingat Allah}”.
Perlu diketahui dan dingat bahwa udzlah itu merupakan perantara (alat) saja, sedang yang menjadi tujuan pokok  orang yang berudzlah adalah {tafakkur}.  Ada beberapa perkataan yang hampir bersamaan artinya dengan udzlah diantaranya, tetapi tiap-tiap kata itu mempunyai arti tersendiri menurut istilah mutashawwifin.
Tajrid.   Yaitu,  menghilangkan dalam diri segala shifat-shifat dan sebab-sebab yang dapat mengikat seseorang kepada dunia, dan menghadapkan seluruh kehidupannya dan tawakkalnya kepada Allah semata-mata.
Tafarrud {infirad}.  Yaitu,  yang berjalan bersama-sama dengan pemisahan zhahir (lahir) dari pergaulan, juga dengan maksud salah satu dari pada itu, supaya jangan kejahatan manusia merasuki kepada dirinya atau agar keburukan-keburukan budi pekertinya tidak membawa akibat buruk kepada pergaulan umumnya. Dan tidak saja memisahkan diri dari masyarakat tetapi termasuk memisahkan diri dari keluarga sendiri dan berjalan bersamaan dengan segala amalnya terutama tiada terlepas ingatan kepada Allah Ta’ala.
Hijrah. Yaitu, yang meskipun berarti memishkan diri juga dari sesuatu masyarakat, mempunyai tujuan yang sangat berlainan.  Hijrah mempunyai tujuan pemisahan yang bershifat sosial dan politis.  Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dengan pertimbangan, bahwa pergaulan dengan suku Quraisy tidak dapat dilanjutkan lagi, karena tidak terdapat lagi titik terang hubungan dengan orang-orang Islam.
Dan juga Imam Al-Ghazali menerangkan, bahwa ada waktunya orang melakukan udzlah itu.
Pertama.  Tatkala sesuatu masa mengalami kerusakan dan tatkala orang sangat takut terjadi fitnah terhadap Agama,  dikala itu udzlah dari pada manusia lebih baik.
Kedua.  Jika tanda-tanda kelihatan sebagai yang dikatakan Nabi s.a.w. : “Tatkala manusia sudah merusakkan janji-janjinya dan tatkala manusia sudah meringan-ringankan Amanah yang dipercayakan rakyat {umat} kepadanya”.  Dan tatkala Abdullah bin Amir bin ‘Ash bertanya :  “Apa yang dapat diperbuatnya dikala-kala kejadian tersebut”. Nabi s.a.w. menjawab : “Tinggal dirumah, kendalikan lidahmu kerjakan yang “ma’ruf” dan tinggalkan yang “mungkar”, kepadamu diperintahkan  Allah kewajiban yang khusus, oleh karena itu tinggalkan yang umum !”
Dalam hadits-hadits yang lain, masa yang disebutkan Rasulullah s.a.w. dijelaskan, bahwa : “Orang-orang  merasa tidak aman, banyak tukang khutbah sedikit Ulama, banyak soal tanya jawab sedikit yang dapat menahan maksi’at, kurang ibadaht {shalaht}, banyak menjual agama dengan keuntungan sedikit”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar