Minggu, 01 April 2012

Ilmu Ikhlash dan Amal.

                                                                                   
                                                                      
                                          I S L A M  dan  I L M U N Y A     
Ilmu Ikhlash dalam Amal.
Adapun haqiqatnya niat itu ialah keadaan atau shifat yang timbul dalam hati manusia yang menggerakkan atau mendorongnya untuk melaksanakan suatu pekrjaan. Tetapi fungsi niat itu telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. :
“ ‘An-Amiyril-mukminiyna abi hafshin ‘umarabnul-khath-thab radhiyallahu ‘anhu qaa la : Sami’tu rasulullahi shalallahu ‘alaiyhi wa sallama : Yaquulu : Innamal a’malu binniyati wa innama likullim-rikmaa maanawa faman-kanat hij-ratuhu ilallahi wa rasulihi fahij-ratuhu ilallahi warasulihi. Wa man-kanat hij-ratuhu lidunyaa yushiybuhaa-awimra-atin yanki-hhuhaa fahij-ratuhu ilaa mahaa jara ilaiyhi”.
“Dari Amiril mukminin Abi Hafshi Umar bin Khattab ra. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Sesungguhnya sah atau tidak suatu amal tergantung pada niat, dan teranggap bagi tiap orang apa yang ia niatkan. Maka siapa yang berjihat semata-mata tha’at kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu diterima oleh Allah dan Rasulnya. Dan siapa yang hijrah karena mencari keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawini, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya”. (H.R. Bukhari. Muslim).
Dengan berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi faktor utama adalah niat yang datang dari hati, bukan tergantung amal yang baik dan bagus. Kalau perbuatan yang dilakukan itu baik dan bagus menurut syariaht Islam tetapi niatnya salah atau keliru tentu saja amalnyapun sia-sia dan rusaklah amal tersebut, begitu juga sebaliknya.
Ketahuilah bahwa niat dan ikhlash itu adalah dua faktor yang tidak boleh dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lain, erat sekali hubungannya, tak ubahnya pohon dengan bibit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an :
“Wamaa umiru illa liya’budullaha mukhlishiyna lahud-diyna hhunafaa-a wayuqiymush-shalahta wayuktudz-dzakata wadzaa-lika diynul-qaiyyimahti”.
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketha’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalaht dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agam yang lurus”. (QS. Al-Baiyyinah. 5).
“Innallaha layanzhuru ilaa ajsaa mikum walaa ilaa shuwa rikum walakin yanzhuru ilaa quduu-bikum”
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk badan dan tidak pula melihat rupa-rupa kamu, akan tetapi Dia melihat didalam hati kamu”.
(H.R. Muslim).
“Annasu kulluhum halakaa illal-mukminina. Walmukminuuna kulluhum halaka illal-‘amiluuna. Wal’aamiluna kulluhum halaka illal-mukhlishuuna”.
“Manusia itu seluruhnya akan binasa kecuali mereka yang beriman, mereka yang beriman itu seluruhnya binasa, kecuali  yang beramal, dan mereka yang beramal seluruhnya binasa, melainkan mereka yang ikhlash”. (Al-Hadits).
Adapun dalam pelasanaan amal akan ikhlash mempunyai berbagai macam tingkatan, menurut tiangkatannya antara lain :
1.    Golongan Ibadaht yaitu : semua amal ibadahtnya hanya diperuntukkan untuk Allah, yang tidak mempunyai shifat riya’, dan ujub (mengagumi amal baiknya), akan  tetapi amal ibadahtnya itu hanya dimaksudkan untuk memperoleh pahala menghindar dari siksanya sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Ta’ala. Sebab dengan pahala yang diperolehnya itu dia lalu mengharafkan syurga dan mohon diselamatkan dari syiksa neuraka. Yang demikian ini telah di cerminkan didalam Al-Qur’an : 
“Iyya kana’budu”.
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah”. (QS. Al-Fatihah. 5).
2.            Keikhlashan golongan Muhibbin, yaitu : orang yang mencintai Allah Ta’ala dimana amal ibadahtnya benar-benar karena Allah Ta’ala dan tidak karena pahala, serta tidak karena takut akan syiksanya, akan tetapi amal ibadahtnya itu untuk mengagungkan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Rabi’ul Adawiyah :
“Aku menyembah Allah, tidak karena takut neurakaMu, dan tidak pula mengharafkan syurgaMu, akan tetapi menyembahMu itu semata-mata demi untuk mengagungkanMu”.
3.       Keikhlashan golongan Ma’rifat : Ini tidak sama dengan keikhlashan ahli ibadaht dan ahli muhibbin. Kalau keikhlashan ahli ma’rifat, Ia mengetahui bahwa segala gerak-geriknya adalah Allah Ta’ala yang menggerakkan atau mendorongnya. Jadi dirinya sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan dirinya tersebut untuk berbuat sesuatu. Orang yang demikian itu tidak mengandalkan amal perbuatannya. Sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur’an :

“Wa iyyaaka nasta’iinu”. 
“Dan hanya kepadaMulah kami minta pertolongan”. (QS. Al-Fatihah. 5).
Keikhlashan ahli ma’rifat ini menduduki tingkat luhur disisi Allah Ta’ala. Jadi jelaslah bahwa setiap amal itu haruslah disertai dengan keikhlashan. Sebab amal tanpa ikhlash manusia tidaklah memetik buahnya kelak, sedang amal yang tidak disertai akan ikhlash adalah riya’, sedang riya’ adalah dausa, dan dausa tempatnya adalah neuraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar